Beranda | Artikel
Kisah Pembangunan Baitullah
17 jam lalu

Kisah Pembangunan Baitullah adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 18 Jumadil Akhir 1447 H / 9 Desember 2025 M.

Kajian Tentang Kisah Pembangunan Baitullah

Berikut adalah kisah perjalanan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, istrinya Hajar, dan putra beliau, Ismail. Kisah ini menjelaskan sejarah penempatan mereka di lembah Makkah yang kemudian menjadi lokasi didirikannya Baitullah (Ka’bah) oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘Alaihis Salam.

Imam An-Nawawi Rahimahullah meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, beliau berkata:

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, beliau berkata:

“Ibrahim ‘Alaihis Salam datang membawa Ummu Ismail (Hajar) dan putranya, Ismail, yang ketika itu Hajar masih menyusuinya, hingga beliau menempatkan mereka di sisi Baitullah, di dekat sebatang pohon besar di atas lokasi Zamzam, di bagian atas area Masjid (yang akan didirikan). Ketika itu, belum ada seorang pun di Makkah dan tidak ada air di sana.

Beliau menempatkan mereka di sana, dan meletakkan bejana kulit berisi kurma serta wadah air berisi air di dekat mereka. Kemudian Ibrahim berbalik dan pergi. Ummu Ismail mengikutinya dan berkata, ‘Wahai Ibrahim, ke mana engkau pergi. sementara engkau meninggalkan kami di lembah ini yang tidak ada seorang pun teman dan tidak ada sesuatu pun?’

Hajar mengulangi perkataan itu berkali-kali, namun Ibrahim tidak menoleh sedikit pun kepadanya. Hajar berkata kepadanya, ‘Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Hajar berkata, ‘Jika demikian, Dia (Allah) tidak akan menyia-nyiakan kami.’ Lalu Hajar kembali.

Ibrahim ‘Alaihis Salam pun pergi, hingga ketika beliau sampai di Tsaniyah (jalan di antara dua bukit/lekukan), tempat Hajar dan Ismail tidak dapat melihatnya, beliau menghadapkan wajahnya ke Baitullah (lokasi Baitullah) kemudian berdoa dengan doa-doa ini. Beliau mengangkat kedua tangannya dan berdoa:

{رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتي بِوادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ} حتَّى بلَغَ {يشْكُرُونَ}

‘Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman…’ hingga firman-Nya, ‘…agar mereka bersyukur.’ (QS. Ibrahim [14]: 37)

Ummu Ismail mulai menyusui Ismail dan minum dari air yang ada. Hingga ketika air di wadah itu habis, Hajar merasa haus dan putranya pun kehausan. Hajar mulai memandang putranya yang menggeliat (disebutkan dalam riwayat lain: sempat pingsan). Hajar pun pergi karena tidak tega melihatnya.

Hajar mendapati Shafa adalah bukit terdekat yang menghadap ke arahnya. Ia berdiri di atasnya, kemudian menghadap ke lembah sambil mencari-cari, apakah ia melihat seseorang? Ternyata ia tidak melihat seorang pun. Lalu ia turun dari Shafa hingga mencapai lembah. Ia mengangkat ujung kainnya, kemudian berlari sekencang-kencangnya seperti orang yang kelelahan hingga melewati lembah. Kemudian ia sampai di Marwah, berdiri di atasnya, dan mencari-cari, apakah ia melihat seorang pun? Ia tidak melihat seorang pun. Ia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali.

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

فَذَلِكَ سعْيُ النَّاسِ بيْنَهُما

‘Maka itulah Sa’i (perjalanan) manusia di antara keduanya (Shafa dan Marwah).’

Ketika ia berada di Marwah, ia mendengar sebuah suara. Ia berkata, ‘Diamlah!’ —ia bermaksud untuk dirinya sendiri—kemudian ia mencoba mendengarkan lagi, dan ia mendengar suara itu lagi. Ia berkata, ‘Sungguh engkau telah memperdengarkanku! Jika engkau memiliki pertolongan, maka tolonglah!’

Ternyata ia melihat Malaikat di tempat sumur Zamzam. Malaikat itu mengais dengan tumitnya –dalam satu riwayat: dengan sayapnya—hingga air muncul. Hajar segera membendung air itu dan mengumpulkannya dengan tangannya seraya berkata seperti ini, dan ia mulai menciduk air ke dalam bejananya, sementara air itu terus memancar setelah diciduk. Dalam riwayat lain disebutkan: air itu memancar seukuran yang ia ciduk.

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

رحِم اللَّه أُمَّ إِسماعِيل لَوْ تَركْت زَمزَم أَوْ قَالَ: لوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنَ المَاءِ، لَكَانَتْ زَمْزَمُ عيْناً معِيناً

‘Semoga Allah merahmati Ummu Ismail. Seandainya ia membiarkan Zamzam —atau beliau berkata: seandainya ia tidak menciduk air itu— niscaya Zamzam akan menjadi mata air yang mengalir terus-menerus.’

Ibnu Abbas berkata, lalu Hajar minum dan menyusui anaknya. Kemudian Malaikat itu berkata kepadanya, ‘Janganlah kalian takut akan disia-siakan, karena sesungguhnya di sini ada Baitullah yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan ahli-Nya.’

Baitullah ketika itu hanya berupa gundukan tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya, yang dilewati banjir bandang, yang mengambil tanah di sisi kanan dan kirinya. Demikianlah keadaannya hingga melintas serombongan kabilah dari Jurhum, atau beberapa keluarga dari Jurhum, yang datang dari jalan Kada’, lalu mereka singgah di bagian Makkah yang paling rendah.

Mereka melihat seekor burung berputar-putar di atas suatu tempat. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya burung ini berputar-putar di atas air. Padahal, yang kami ketahui lembah ini tidak ada airnya.’ Mereka mengutus satu atau dua orang pelacak, ternyata mereka mendapati air. Mereka pun kembali dan mengabarkan kepada rombongan. Rombongan itu pun datang, sementara Ummu Ismail berada di dekat air.

Mereka berkata, ‘Apakah engkau mengizinkan kami untuk tinggal bersamamu di sini?’ Hajar berkata, ‘Ya, tetapi kalian tidak punya hak atas air ini.’ Mereka menjawab, ‘Ya.’

Ibnu Abbas berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

فَأَلفى ذلكَ أُمَّ إِسماعِيلَ، وَهِي تُحِبُّ الأُنْسَ

‘Hal itu menyenangkan Ummu Ismail, karena ia menyukai keramaian.’ Maka mereka pun tinggal, dan mereka mengutus utusan kepada keluarga mereka (untuk ikut pindah), sehingga mereka pun tinggal bersama, sampai akhirnya lembah itu menjadi tempat tinggal banyak keluarga.

Anak itu (Ismail) tumbuh besar, belajar bahasa Arab dari mereka (Jurhum), dan menjadi pemuda yang paling disenangi dan dikagumi di antara mereka ketika ia dewasa. Ketika ia mencapai usia dewasa, mereka menikahkannya dengan seorang wanita dari kabilah mereka. Kemudian Ummu Ismail meninggal dunia.

Setelah Ismail menikah, Ibrahim datang untuk menengok peninggalannya (keluarganya). Beliau tidak mendapati Ismail. Beliau bertanya kepada istrinya tentang Ismail. Istrinya berkata, ‘Ia keluar mencari nafkah untuk kami.’ Dalam riwayat lain: ‘Ia sedang berburu untuk kami.’

Kemudian Ibrahim bertanya kepadanya tentang kehidupan dan keadaan mereka. Istrinya berkata, ‘Kami dalam kondisi yang buruk, dalam kesempitan dan kesulitan,’ dan ia pun mengeluhkan keadaannya kepada Ibrahim.

Ibrahim berkata, ‘Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya, dan katakan kepadanya agar ia mengganti ambang pintu rumahnya.’

Ketika Ismail datang, ia merasa ada sesuatu yang asing. Ia bertanya, ‘Apakah ada orang yang datang kepada kalian?’ Istrinya menjawab, ‘Ya, ada seorang lelaki tua begini dan begitu datang kepada kami. Ia bertanya tentangmu, lalu aku memberitahunya. Ia bertanya tentang kehidupan kita, lalu aku beritahu bahwa kita dalam kesusahan dan kesulitan.’

Ismail berkata, ‘Apakah ia berpesan sesuatu kepadamu?’ Istrinya menjawab, ‘Ya, ia menyuruhku menyampaikan salam kepadamu dan berkata: Ganti ambang pintu rumahmu.’

Ismail berkata, ‘Itu adalah ayahku, dan ia telah memerintahkanku untuk menceraikanmu. Kembalilah kepada keluargamu.’ Maka Ismail pun menceraikannya, lalu ia menikah dengan wanita lain dari kabilah itu.

Ibrahim tinggal terpisah dari mereka selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian beliau datang lagi. Beliau tidak mendapati Ismail. Beliau masuk menemui istri Ismail dan bertanya tentangnya. Istrinya berkata, ‘Ia keluar mencari nafkah untuk kami.’

Ibrahim bertanya, ‘Bagaimana keadaan kalian?’ dan bertanya tentang kehidupan dan keadaan mereka. Istrinya menjawab, ‘Kami dalam keadaan baik dan berkecukupan,’ dan ia memuji Allah Ta’ala.

Ibrahim bertanya, ‘Apa makanan kalian?’ Istrinya menjawab, ‘Daging.’ Ibrahim bertanya, ‘Apa minuman kalian?’ Istrinya menjawab, ‘Air.’

Ibrahim pun berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah keberkahan bagi mereka dalam daging dan air.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Saat itu mereka tidak memiliki biji-bijian (gandum/kurma), dan seandainya mereka memilikinya, niscaya Ibrahim akan mendoakan keberkahan pula padanya.’ Beliau bersabda, ‘Maka di kota Mekkah, keduanya (daging dan air)  tidak pernah tidak ada daging dan air.’

Dalam riwayat lain (tentang kunjungan kedua):

Ibrahim datang dan bertanya, ‘Di mana Ismail?’ Istrinya menjawab, ‘Dia pergi berburu.’ Istrinya berkata, ‘Mengapa engkau tidak singgah, makan dan minum?’ Ibrahim berkata, ‘Apa makanan dan minuman kalian?’ Istrinya menjawab, ‘Makanan kami adalah daging, dan minuman kami adalah air.’

Ibrahim berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah keberkahan bagi mereka dalam makanan dan minuman mereka.’ Abu Al-Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yakni Nabi Muhammad) bersabda, ‘Itu (keberkahan di kota Mekkah) adalah berkat dari doa Ibrahim ‘Alaihis Salam.’

Ibrahim berkata, ‘Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan perintahkan dia agar mempertahankan ambang pintu rumahnya.’

Ketika Ismail datang, ia bertanya, ‘Apakah ada orang yang datang kepada kalian?’ Istrinya menjawab, ‘Ya, telah datang kepada kami seorang lelaki tua yang bagus penampilannya’—dan ia memuji Ibrahim—’Ia bertanya tentangmu, lalu aku memberitahunya. Ia bertanya tentang kehidupan kami, lalu aku memberitahu bahwa kami dalam kebaikan.’

Ismail bertanya, ‘Apakah ia berpesan sesuatu kepadamu?’ Istrinya menjawab, ‘Ya, ia menyampaikan salam kepadamu dan memerintahkanmu agar mempertahankan ambang pintu rumahmu.’

Ismail berkata, ‘Itu adalah ayahku, dan engkau adalah ambang pintu itu (yang dimaksud). Ia memerintahkanku untuk mempertahankanmu.’

Kemudian Ibrahim tinggal terpisah dari mereka selama masa yang dikehendaki Allah, lalu datang lagi setelah itu, sementara Ismail sedang meraut anak panahnya di bawah pohon besar di dekat Zamzam. Ketika Ismail melihatnya, ia segera berdiri menghampirinya. Keduanya melakukan seperti yang dilakukan seorang ayah terhadap putranya dan seorang putra terhadap ayahnya.

Ibrahim berkata, ‘Wahai Ismail, sesungguhnya Allah telah memerintahkan aku akan suatu perintah.’ Ismail berkata, ‘Maka laksanakanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu.’ Ibrahim bertanya, ‘Maukah engkau membantuku?’ Ismail menjawab, ‘Aku akan membantumu.’

Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkan aku untuk membangun sebuah rumah di sini,’ sambil menunjuk ke sebuah bukit yang lebih tinggi dari sekitarnya.

Maka saat itu, keduanya mulai meninggikan pondasi Baitullah. Ismail membawa batu, dan Ibrahim membangun. Hingga ketika bangunan itu sudah tinggi, Ismail membawa batu ini (Maqam Ibrahim) dan meletakkannya untuk Ibrahim berdiri di atasnya. Ibrahim membangun, dan Ismail memberikan batu kepadanya, sementara keduanya berdoa:

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

‘Ya Rabb kami, terimalah dari kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.’ (QS. Al-Baqarah [2]: 127)

Dalam riwayat lain (mengenai Hajar dan Zamzam):

Sesungguhnya Ibrahim keluar bersama Ismail dan Ummu Ismail, dan bersama mereka ada wadah air kulit (dikenal sebagai syannah) yang berisi air. Ummu Ismail minum dari wadah tersebut, sehingga air susu untuk bayinya menjadi banyak, hingga mereka tiba di Makkah. Ibrahim menempatkannya di bawah sebatang pohon besar, kemudian Ibrahim kembali kepada keluarganya (di Palestina). Ummu Ismail mengikutinya hingga ketika mereka tiba di Kada’ (nama tempat), Hajar memanggilnya dari belakang, ‘Wahai Ibrahim, kepada siapa engkau meninggalkan kami?’ Ibrahim menjawab, ‘Kepada Allah.’ Hajar berkata, ‘Aku ridha dengan Allah.’

Lalu Hajar kembali dan minum dari wadah air itu, dan air susunya mengalir untuk bayinya. Sampai ketika air itu habis, Hajar berkata, ‘Seandainya aku pergi mencari-cari, barangkali aku melihat seseorang.’ Hajar pun pergi dan mendaki Shafa. Ia melihat dan mencari-cari apakah ia melihat seseorang, tetapi ia tidak melihat seorang pun. Ketika ia mencapai lembah, ia berlari, lalu sampai di Marwah, dan ia melakukan itu berkali-kali.

Kemudian ia berkata, ‘Seandainya aku pergi melihat apa yang terjadi dengan bayi itu.’ Ia pun pergi dan melihatnya, ternyata bayi itu dalam keadaan seperti sedia kala, seolah-olah sedang merintih karena kematian. Hajar tidak tega. Ia berkata, ‘Seandainya aku pergi mencari-cari, barangkali aku melihat seseorang.’ Ia pun pergi dan mendaki Shafa, melihat dan mencari-cari, tetapi ia tidak melihat seorang pun hingga ia menyelesaikan tujuh kali putaran.

Kemudian ia berkata, ‘Seandainya aku pergi melihat apa yang terjadi.’ Tiba-tiba ia mendengar suara. Ia berkata, ‘Tolonglah! Jika engkau memiliki kebaikan.’ Tiba-tiba ia melihat Jibril ‘Alaihissalam. Jibril pun mengais dengan tumitnya seperti ini, dan menekan tumitnya ke tanah, seketika air memancar. Ummu Ismail terkejut. Ia pun mulai mengumpulkan air.” (Kemudian hadits disebutkan secara lengkap).

Inilah kisah yang panjang tentang salah satu hal tentang sejarah bagaimana Ibrahim dan putranya dan istrinya, mereka ditempatkan di kota Makkah sampai hari ini.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55876-kisah-pembangunan-baitullah/